kekuasaan


Oleh YB. Heru Wahyu Jatmiko

Beetham mengatakan bahwa kontrol rakyat terhadap eksekutif merupakan sesuatu yang sangat prinsip dalam demokrasi. Dalam negara modern yang luas, kontrol itu dilakukan melalui lembaga parlemen.[1] Belanda dan Perancis memiliki struktur parlemen bikameral. Kamar pertama dalam parlemen Belanda disebut dengan Eerste Kamer sedang dalam parlemen Perancis disebut dengan Senate sedangkan kamar kedua dalam parlemen Belanda disebut Tweede Kamer sedangkan dalam parlemen Perancis disebut dengan Deputy atau National Assembly. Kamar kedua memiliki kekuasaan yang lebih besar daripada kamar pertama. Alasan yang sering dikemukakan terhadap perbedaan kekuasaan antara kedua kamar itu adalah karena kamar pertama biasanya kurang representative daripada kamar kedua sebagai akibat dari adanya perbedaan dalam pemilihan.[2] Kamar pertama di Belanda dipilih oleh parlemen lokal sedangkan parlemen kedua dipilih oleh rakyat secara langsung. Demikian juga dengan Perancis, Kamar pertama dipilih oleh Kolese Pemilihan Tingkat Departemen (Departmental Electoral College) yang terdiri dari para Deputi di National Assembly, para kanselir umum (Conseillers Généraux) dan delegasi dari Dewan Kotapraja. Namun demikian, dalam perbandingan ini, parlemen Perancis memiliki kekuasaan yang berbeda dengan parlemen Belanda.[3] Parlemen Perancis berada di bawah kendali Presiden dan Perdana Menteri sedangkan Parlemen Belanda memiliki kekuasaan tertinggi atas eksekutif. Oleh karena itu, persoalan yang dikemukakan dalam perbandingan ini adalah bagaimanakah kontrol rakyat terhadap eksekutif bisa dijalankan?

Metodologi

Karena perbandingan ini dilakukan berdasarkan dua kasus, perbandingan ini menggunakan “perbandingan terfokus” (focused comparisons) dengan“desain sistem yang paling beda” (most different system’s design).[4] Perbandingan terfokus (focused comparisons) merupakan perbandingan yang memusatkan diri pada analisis yang intensif terhadap satu aspek politik.[5] Aspek itu harus merupakan aspek intrinsik.[6] Satu aspek politik yang diambil dalam perbandingan ini adalah kontrol terhadap eksekutif. Sedangkan “desain sistem yang paling beda” (most different system’s design) merupakan model perbandingan antara 2 kasus yang sangat berbeda dan dari perbedaan itu dicari kesamaannya.[7] Dalam kasus Perancis dan Belanda, perbedaan nyata keduanya terletak pada kedudukan masing-masing parlemen dalam sistem politik. Parlemen Belanda memiliki kekuasaan tertinggi dan bahkan sangat menentukan dalam pengangkatan eksekutif dan kelangsungan hidup eksekutif sedangkan dalam parlemen Perancis, kedudukannya berada di bawah Presiden yang bisa membubarkan parlemen bila tak dikehendaki oleh Presiden. Parlemen Belanda tidak bisa dibubarkan oleh eksekutif.[8]

Metode yang digunakan dalam perbandingan ini menggunakan metode kualitatif sebab masalah yang akan dijawab menggunakan kata “bagaimana”. Meskipun menggunakan metode kualitatif, Guy Peters mengatakan tetap diperlukan penentuan dependen variable sebagai sesuatu yang akan dijelaskan.[9] Ia menjelaskan bahwa ada aneka macam dependen variable. Dependen variable itu bisa merupakan sebuah dikotomi, bisa merupakan cakupan aneka tanggapan pemerintah terhadap perubahan ekonomi dan lain-lain. Dalam makalah ini dependen variablenya adalah dampak perbedaan kekuasaan antara parlemen Perancis dan Belanda dalam melakukan kontrol terhadap eksekutif.

Untuk mencari dampak itu, digunakan hubungan sebab-akibat antar variable-variable seperti yang dikemukakan oleh John Stuart Mill. John Stuart Mill mengemukan teori sebab akibat yang oleh Guy Peters dikatakan bahwa teori hubungan sebab akibat dari John Stuart Mill itu biasa dipakai dalam ilmu-ilmu sosial. Guy Peters hanya mengemukakan 3 teori sebab akibat dari Mill yaitu Metode Persetujuan (Method of Agreement), Metode Perbedaan (Method of Difference) dan Metode Variasi Penyertaan (Method of Concomitant Variation).[10] Sehubungan dengan permasalahan dalam makalah ini, pencarian dampak perbedaan kekuasaan antara parlemen Belanda dan Perancis dalam melakukan kontrol terhadap eksekutif dilakukan dengan menggunakan Metode Perbedaan (Method of Difference) dari Mill, yang mengatakan “jika ada fenomena yang terjadi dan tidak terjadi (dependent variable), dan keadaan-keadaan yang diamati (independent variables) sama dalam segala situasi kecuali satu keadaan, maka yang satu itu merupakan sebab ( atau akibat) dari kejadian”[11].

Pendekatan yang dilakukan dalam perbandingan ini menggunakan pendekatan institusional empiris. Guy Peters merumuskan pendekatan institusional empiris sebagai pendekatan yang pertama-tama melihat institusi sosial dan politik sebagai sebuah “given” dan kemudian melihat dampak yang ditimbulkan dari institusi.[12] Dampak dari institusi ini harus bisa diamati secara empiris. Bahkan ketika konsep mengenai institusi tidak jelas, seperti menentukan apakah pemerintahan ini memakai sistem parlementer atau presidensiil, pendekatan institusional empiris masih bisa dibenarkan sebab hal penting yang mau diamati adalah dampaknya.

Meskipun institusi dipandang sebagai “given”, Guy Peters mengatakan ada beberapa institusionalist empiris yang mempersoalkan institusionalisasi dan profesionalisasi terutama dalam lembaga legislatif.[13] Institusionalisasi atau pelembagaan merupakan proses untuk menjadi lembaga yang mapan. Demikian juga dengan profesionalisasi dimengerti sebagai proses menjadikan lembaga legislatif sebagai institusi karir penuh waktu. Meskipun ada unsur dinamik, tetapi pendekatan kelembagaan tidak memusatkan dirinya pada dinamika perubahan tetapi pertama-tama pada dampaknya. Ada pun hubungan antara institusi dengan dampak tersebut bersifat searah, tidak hubungan timbal balik.[14]

Bila dibandingkan dengan pendekatan institusional historis dan institusional normatif, institusional empiris memiliki pilihan bebas terhadap penggambaran institusi.[15] Pendekatan institusional empiris tidak terpaku pada bentuk institusi tertentu seperti yang terjadi pada pendekatan institusional historis yang terpaku pada bentuk awal institusi atau pada pendekatan institusional normatif yang terpaku pada bentuk ideal institusi. Namun demikian, pendekatan institusional empiris menganggap peran individu kurang penting bila dibandingkan dengan peran individu dalam pendekatan institusional normatif. Pendekatan empiris pun kurang memiliki gagasan bagaimana sebuah institusi harus diubah seperti yang dimiliki oleh pendekatan institusional normatif.[16] Dalam pendekatan institusional empiris ini, institusi dikatakan baik bila institusi ini berhasil mempertahankan hidupnya dan mampu membuat keputusan-keputusan.[17]

Guy Peters mengatakan bahwa dalam pendekatan institusionalisme itu sendiri ada aneka macam. Aneka macam pendekatan itu akan lebih memberi sumbangan secara intelektual bila pendekatan-pendekatan dalam institusionalisme itu dipakai secara campuran karena masing-masing memiliki perbedaan yang tipis dan masing-masing memiliki kelemahan serta kelebihan[18]. Oleh karena itu, pendekatan institusional empiris yang digunakan di sini tidak mengesampingkan pendekatan institusional lainnya, terutama pendekatan institusional historis yang mau melihat sejarah awal pilihan pembentukan institusi dan pendekatan institusional rational choice yang mau melihat tindakan yang diambil berdasarkan pilihan yang paling menguntungkan. Pendekatan-pendekatan ini diperlukan untuk menjawab persoalan yang dikemukakan di atas.

Legitimasi Kekuasaan

Parlemen Belanda dan parlemen Perancis memiliki kesamaan dalam hal legitimasi kedudukan mereka. Pada kamar kedua, baik Deputy Perancis maupun Tweede Kamer Belanda, sama-sama dipilih oleh rakyat secara langsung. Kedua negara itu memakai sistem proporsional meskipun Perancis mengubah sistem pemilu dari distrik ke proporsional baru pada tahun 1987.[19] Partai-partai yang memperoleh kursi di parlemen berusaha mendapatkan kedudukan mayoritas. Partai yang memperoleh suara terbanyak di Tweede Kamer Belanda melakukan koalisi dengan partai-partai lain agar memperoleh kedudukan mayoritas. Partai-partai di National Assembly Perancis melakukan koalisi partai berdasarkan ideologi partai sehingga memperoleh suara mayoritas seperti yang terjadi pada tahun 1986 yang menyebabkan partai sayap kanan memperoleh kedudukan mayoritas dan kemudian mengakibatkan periode kohabitasi antara Mitterand sebagai Presiden dari Partai Sosialis dengan Perdana Menteri Jacques Chirac dari konservatif.[20]

Kedudukan kamar pertama, Senat di Perancis dan Senat di Eerste Kamer memiliki kesamaan legitimasi. Kamar pertama sama-sama dipandang kurang legitimasinya dibanding dengan kamar kedua. Senat Belanda dipandang kurang legitimasinya karena kedudukan di Eerste Kamer diperoleh berdasarkan pemilihan dari dewan provinsi sehingga lebih mencerminkan perwakilan provinsi sedangkan Senat Perancis dipilih oleh Kolese Pemilihan Tingkat Departemen yang lebih merupakan perwakilan wilayah yang disebut Departemen. Meskipun kurang legitimasinya bila dibanding dengan kamar kedua, kamar pertama di kedua negara tersebut sama-sama berfungsi sebagai pemikir alternatif dari kamar kedua (sober second thought). Namun, akhir-akhir ini, kamar pertama dari kedua negara lebih banyak mendukung kebijakan pemerintah daripada menolaknya.

Pembentukan dan Pembubaran Eksekutif

Perancis memiliki dua eksekutif yaitu Presiden yang dipilih oleh rakyat secara langsung dan Perdana Menteri yang ditunjuk Presiden.[21] Belanda hanya memiliki satu eksekutif yaitu Perdana Menteri. Kedua Perdana Menteri itu sama-sama berasal dari partai atau koalisi partai mayoritas di parlemen. Meskipun Perdana Menteri Perancis ditunjuk oleh Presiden, namun penunjukkan itu didasarkan pada mayoritas partai atau koalisi partai yang duduk di parlemen. Kenyataan ini nampak dari kasus Presiden Mitterand dari Partai Sosialis yang pada tahun 1981 berhasil memenangkan suara untuk duduk sebagai Presiden dan kemudian membubarkan parlemen yang pada waktu itu didominasi oleh golongan konservatif dan kemudian diadakan pemilu sehingga terbentuklah parlemen yang didominasi oleh Sosialis. Akibatnya, perdana menteri yang dipilih Presiden adalah perdana menteri dari golongan Sosialis yaitu Pierre Mouray. Tetapi pada pemilu 1986, golongan konservatif mendominasi parlemen sehingga Presiden Mitterand yang sosialis itu menunjuk Jacques Chirac dari konservatif untuk menjadi Perdana Menteri.[22] Di Belanda, Ratu akan memanggil pemimpin partai yang memperoleh kursi terbanyak di parlemen dan telah melakukan koalisi di parlemen sehingga memperoleh dukungan mayoritas untuk menjadi Perdana Menteri.

Kedua parlemen itu juga memiliki peranan yang sangat penting dalam pembubaran eksekutif. Di Belanda, kabinet mengalami krisis bila parlemen mengajukan mosi tidak percaya kepada kabinet. Di Perancis, parlemen bisa mengajukan pernyataan tidak percaya (question of non confidence) kepada kabinet sehingga kabinet bisa bubar.[23] Akan tetapi pembubaran kabinet di Perancis bisa menimbulkan kemarahan Presiden sehingga Presiden akan menggunakan haknya untuk membubarkan parlemen dan kemudian mengadakan Pemilu untuk membentuk parlemen baru seperti yang terjadi terhadap Georges Pompiduo, Perdana Menteri pilihan de Gaulle tahun 1962.[24] Parlemen Perancis sendiri tidak bisa menurunkan Presiden tetapi justru Presiden bisa membubarkan Parlemen. Namun kondisi ini jarang terjadi karena ada kebiasaan bahwa Perdana Menteri memiliki tugas rangkap yaitu di satu pihak ia menjalankan roda pemerintahan sehari-hari atas petunjuk Presiden dan di lain pihak ia harus bisa diterima oleh parlemen dan bisa mengarahkan pekerjaan parlemen itu sendiri.[25] Periode kohabitasi pada pemerintahan Presiden Mitterand dengan Perdana Menteri Jacques Chirac menunjukkan kedudukan Perdana Menteri berada pada posisi antara Presiden dan Parlemen. Meskipun parlemen di kemudian hari tidak mendukung atau menarik dukungannya terhadap pemerintah, parlemen tidak akan mengeluarkan resolusi apa pun kecuali bila diminta oleh pemerintah.

Oleh karenanya, kedudukan eksekutif di kedua negara itu sama-sama stabil. Di Belanda kestabilan itu diakibatkan oleh dukungan mayoritas dari parlemen. Di Perancis, selain dukungan mayoritas dari parlemen juga karena parlemen tidak akan mengeluarkan resolusi apa pun kecuali diminta oleh pemerintah.

Proses Legislasi

Meskipun Presiden Perancis memiliki kekuasaan besar dan tertinggi namun Presiden tetap membutuhkan parlemen dalam proses legislasi. Eksekutif Perancis dan Belanda memiliki kesamaan hak untuk mengajukan rancangan undang-undang atau amandemen undang-undang kepada parlemen, kamar kedua. Debat dan voting dilakukan sebagai bentuk pembahasan di kedua parlemen. Setelah disetujui oleh kamar kedua, undang-undang dikirim ke kamar pertama untuk didiskusikan dan setelah disetujui kemudian ditandatangani oleh eksekutif. Di kedua negara, kamar pertama sama-sama memiliki komitmen untuk mendukung pemerintah sehingga di kedua negara itu jarang terjadi penolakan.

Dalam proses legislasi ini, di kedua negara memiliki kesamaan dalam hal prioritas pembahasan rancangan undang-undang yang harus diberikan terhadap yaitu prioritas terhadap rancangan dari pemerintah daripada dari usulan pribadi. Hanya saja, anggota parlemen Perancis tidak memiliki hak untuk mengajukan rancangan undang-undang seperti yang dimiliki oleh anggota parlemen Belanda.

Kontrol Terhadap Pemerintah

Bila dilihat dari dampak yang ditimbulkan dari perbandingan itu, kedudukan parlemen di kedua negara sama-sama memiliki dampak pada stabilitas politik. Kedudukan parlemen yang kuat dalam melakukan kontrol terhadap eksekutif di Belanda tetap berdampak pada stabilnya sistem politik di negara itu. Demikian juga lemahnya kedudukan parlemen dalam mengontrol eksekutif di Perancis juga berdampak pada stabilnya sistem politik di Perancis. Mengapa demikian?

Dari perbandingan keduanya, diperoleh kesamaan bahwa ada pandangan yang sama mengenai rakyat sebagai pemilik kedaulatan negara. Di Perancis, kesadaran itu sudah ada di dalam diri de Gaulle. Charles de Gaulle yang menjadi arsitek Konstitusi Republik Kelima menempatkan rakyat sebagai sumber legitimasi kursi kepresidean dengan menjadikan pemilu sebagai sarana untuk duduk di kursi kepresidenan.[26] Presiden juga memiliki hak untuk melakukan referendum sebagai alternatif legitimasi selain dari parlemen. Dalam referendum itu, rakyat hanya mengatakan “setuju” atau “tidak setuju” terhadap program yang ditawarkan.

Dalam kacamata institusional rational choice[27], kekuasaan Presiden Perancis juga dibatasi oleh rakyat. Dalam kasus Presiden Mitterand, dikatakan bahwa pemilihan rakyat terhadap dirinya sebagai Presiden Perancis disebabkan oleh program sosialis di bidang ekonomi yaitu pertumbuhan ekonomi dan penurunan angka pengangguran. Akan tetapi, popularitas Mitterand segera menurun setelah pada tahun pertama program itu tidak tercapai. Dukungan dari kaum sosialis di parlemen juga menurun karena harapan kaum sosialis di parlemen tidak terpenuhi oleh Mitterand yaitu mengembalikan negara yang kuat kepada rakyat Perancis.[28] Akibat kegagalan Mitterand memenuhi program kampanyenya, dalam pemilu berikutnya Maret 1986, dominasi sosialist di parlemen berakhir dan berganti dengan dominasi konservatif. Kekalahan itu memaksa Mitterand untuk mengubah strateginya dalam pemilu presiden 1988 dengan ekonomi yang lebih moderat dan kampanye ideologis yang lebih merendah sehingga ia kemudian terpilih kembali mengalahkan Jacques Chirac dari konservatif.

Di Belanda, pandangan itu membawa akibat pada dikuranginya kekuasaan Raja Belanda pada pertengahan abad ke-19 hingga saat ini dan sebagai gantinya kekuasaan Tweede Kamer diperbesar dan eksekutif muncul dari partai yang memperoleh suara terbesar dalam Tweede Kamer. Raja mempertahankan kedudukannya sebagai Kepala Negara dengan tidak mau campur tangan dalam urusan politik. Dengan sikap itu, kedudukan Ratu sebagai kepala negara tidak akan diganggu gugat oleh rakyatnya. Pengalaman pahit Glorious Revolution dan Revolusi Perancis membuat Raja William II setuju untuk menerima gagasan kaum reformis liberal demokratik dan kemudian memerintahkan tokoh liberal Johan Rudolf Thorbecke untuk menyusun konstitusi baru sesuai dengan tuntutan reformasi liberal demokratik.[29]

Parlemen Belanda meskipun memiliki kekuasaan tertinggi seperti yang dimiliki Presiden Perancis, dalam kacamata institusionalis rational choice, Tweede Kamer masih dibatasi oleh rakyat. Contoh kasus partai PNVD yang memulai kampanyenya dengan mengatakan akan memperjuangkan lolosnya rancangan undang-undang yang melegalkan hubungan sex antara orang dewasa dengan anak-anak (pedophilia). Kampanye PNVD ini menjadi contoh bagaimana isu semacam itu bisa menjadi isu guna mendongkrak perolehan suara dari rakyat dalam pemilu 2006.[30]

Mengapa parlemen Perancis lebih lemah daripada Belanda dan negara-negara parlementer lainnya di dunia? Untuk menjawab pertanyaan ini, diperlukan pendekatan institusional historis, seperti yang dikemukakan oleh Guy Peters, yang mengatakan bahwa “pilihan-pilihan pada awal mula akan membawa dampak yang besar terhadap pilihan-pilihan kebijakan selanjutnya”.[31] Yang dimaksud dengan kebijakan adalah “gagasan-gagasan dan kepentingan-kepentingan dari para aktor institusi itu dalam sektor publik yang berbeda-beda”.[32] Dalam kacamata ini perlu dilihat sejarah awal Republik Kelima Perancis dimana de Gaulle memilih sistem politik seperti sekarang ini.

Latar belakang Republik Kelima Perancis adalah latar belakang situasi anarkis dari Republik Keempat sebagai akibat dari banyaknya partai-partai yang tidak bertanggung jawab sehingga kabinet hanya berlangsung pendek.[33] Sebenarnya, ketidakstabilan pemerintahan sudah terjadi sejak masa Republik Ketiga (1879-1940) yang dalam kurun waktu itu telah terjadi pergantian pemerintahan sebanyak 94 kali.[34] Akar dari ketidakstabilan itu adalah adanya banyak partai di Kamar Deputi yang melakukan koalisi untuk menjadi mayoritas dalam rangka membentuk kabinet. Tetapi koalisi itu tidak berlangsung lama sehingga kabinet kemudian jatuh. Kabinet dalam Republik Ketiga dan Keempat mensyaratkan dukungan mayoritas absolut di parlemen. Padahal, banyaknya partai dan sistem pemilu proporsional yang dilakukan pada saat itu tidak memungkinkan terbentuknya partai mayoritas di parlemen.

Suasana ini dilukiskan oleh de Gaulle sebagai anarki akibat oposisi dan pemerintahan yang tak bertanggung jawab. Untuk mengatasi masalah itu, de Gaulle sudah sejak awal mengemukakan bahwa diperlukan kepemimpinan eksekutif yang kuat. Charles de Gaulle mendapatkan kesempatan untuk mewujudkan harapannya ketika pada tahun 1958 diberi kepercayaan untuk menyusun konstitusi. Gambaran kepemimpinan eksekutif yang kuat diwujudkan dalam diri Presiden yang mengatasi parlemen. Tradisi kenegaraan sebelumnya tetap ia pegang yaitu kabinet bertanggung jawab kepada parlemen dan dipertahankannya lembaga presiden dan lembaga perdana menteri secara terpisah. Disamping itu, de Gaulle sendiri punya keyakinan bahwa stabilitas politik sangat ditentukan dari dukungan rakyat. Keyakinan ini nampak ketika pada tahun 1946 parlemen Republik Keempat mengadakan referendum untuk konstitusi yang baru dan kemudian diperoleh suara 36,8% mendukung, 32,4% menentang, 30,8% abstain. Charles de Gaulle mengatakan bahwa konstitusi itu tidak akan dapat bertahan bila hanya memperoleh dukungan sepertiga lebih sedikit dari rakyat.[35]

Jadi, dari fakta ini nampak bahwa kedudukan Presiden yang kuat, melebihi parlemen, merupakan solusi terbaik untuk mewujudkan pemerintahan yang stabil. Namun kuatnya lembaga kepresidenan tidak dengan sendirinya menjadikan Presiden sebagai pribadi yang otoriter. Presiden sendiri masih dibatasi oleh rakyat yaitu perlunya mendapat dukungan dari rakyat untuk tetap bisa bertahan. Pengalaman Revolusi Perancis menjadi pelajaran mengenai arti penting rakyat dalam negara. Monarki absolut dari Dinasti Borboun harus jatuh karena Revolusi Perancis (1789) yang dilakukan oleh rakyat dari golongan menengah dan golongan bawah melawan rajanya.[36] Sifat revolusioner rakyat Perancis sebagai akibat dari keberhasilan Revolusi Perancis merupakan faktor yang harus diperhitungkan bagi stabilitas politik di Perancis.[37]

Keberadaan parlemen tidak dihapuskan sebab dari tradisi, parlemen adalah wakil rakyat yang memiliki hak untuk melawan perintah raja. Parlemen ini pula yang menurut Scokpol membuka pintu terjadinya Revolusi Perancis.[38] Hanya saja dalam perjalanan selanjutnya yaitu dalam Republik Ketiga dan Keempat seperti diuraikan di atas, parlemen pulalah yang menyebabkan pemerintahan tidak stabil. Latar belakang sejarah pemikiran ini yang mendorong de Gaulle untuk membuat kombinasi sistem pemerintahan bercorak parlementer dan presidensiil. Namun demikian, Presiden tetap membutuhkan dukungan dari Parlemen dalam mengimplementasikan kebijakannya.[39] Itulah sebabnya Mitterand membubarkan parlemen agar tersusun parlemen yang didominasi oleh Partai Sosialis sehingga “Mitterand bisa mengimplementasikan sejumlah kebijakan sosialis”.[40]

Jadi, perbedaan kontrol parlemen Belanda dengan parlemen Perancis terletak pada perbedaan pelembagaan kontrol rakyat kepada eksekutif. Di Belanda, kontrol rakyat dilembagakan secara terpusat pada Tweede Kamer. Pemusatan ini sangat dipengaruhi oleh adanya institusi Raja yang masih bisa menjadi lembaga pemersatu keharmonisan masyarakat Belanda.[41] Sementara itu, di Perancis, institusi Raja sudah dihapuskan dan diganti oleh institusi Presiden. Tetapi kesadaran, bahwa negara adalah milik rakyat dan tradisi adanya parlemen yang sudah terlembaga, membuat kontrol rakyat terhadap eksekutif bersifat menyebar di lembaga parlemen dan presiden. Namun demikian, kedua negara sama-sama mengambil bentuk kontrol rakyat melalui pemilu dan referendum.

Jadi akhirnya, dari perbandingan ini diperoleh kesimpulan bahwa kontrol rakyat terhadap eksekutif tetap bisa berjalan dan membawa kestabilan politik meskipun kedudukan parlemen berbeda-beda. Faktor terpenting berjalannya kontrol rakyat terhadap eksekutif dari kedua perbandingan itu adalah adanya kematangan budaya politik.[42] Di Perancis, kematangan budaya politik harus dicapai melalui pengalaman pahit feodalisme yang berujung pada Revolusi Perancis dan kemudian pengalaman Republik Ketiga dan Keempat atas jatuh bangunnya kabinet. Di Belanda, proses menuju kematangan budaya politik sangat ditentukan dari kehendak politik Raja Belanda yang menerima gagasan reformasi liberal demokratik setelah belajar pengalaman pahit yang menimpa monarki Inggris dan Perancis.

Daftar Pustaka

1. Beetham, David. Democracy and Human Rights. Cambridge: Polity Press, 1999.

2. Goodin, Robert E. et al. eds. A New Handbook of Political Science. New York : Oxford, 1996.

3. Hague, Rod. et al. Comparative Government and Politics An Introduction. London : MacMillan Press Ltd, 1998.

4. Mahler, Gregory S. Comparative Politics An Institutional and Cross-National Approach. New Jersey : Prentice Hall, 1995.

5. Peters, B. Guy. Institusional Theory in Political Science The New Institutionalism. London : Continuum Press, 1999.

6. Peters, B. Guy. Comparative Politics Theory and Methods. New York : Palgrave, 1998.

7. Sjamsuddin, Nazaruddin. Integrasi Politik di Indonesia. Jakarta : Gramedia, 1989.

8. Skocpol, Theda. Negara dan Revolusi Sosial Suatu Analisis Komparatif tentang Perancis, Rusia, dan Cina. Terj. Kelompok Mitos, Jakarta : Penerbit Erlangga, 1991.

9. Inter-Parliamentary Union, Parliaments of The World Comparative Reference Compendium. New York : 1986.


[1] Lih. David Beetham, Democracy and Human Rights (Cambridge : 1999), hal.154-155

[2] Bdk. Gregory Mahler, Comparative Politics An Institutional and Cross-National Approach (New Jersey : 1995), hal. 73

[3] Ibid, hal.211-222

[4] Lih. B. Guy Peters, Comparative Politics Theory and Methods (New York : 1998), hal.65-67

[5] Rod Hague et al, Comparative Government and Politics An Introduction ( London : 1998), hal.280

[6] Ibid.

[7] Ibid. Lih. juga B. Guy Peters, Op.Cit, hal.66

[8] Sumber informasi parlemen Belanda diambil dari web site http/www-houseofrepresentatives.nl

[9] Lih. B. Guy Peters, Op.Cit, hal. 30-31

[10] B. Guy Peters, Institutional Theory in Political Science The New Institutionalism, (London:1999), hal.29

[11] Ibid

[12] Ibid, hal. 90

[13] Ibid, hal. 91-92

[14] Ibid, hal. 93-94

[15] Ibid, hal. 92-93

[16] Ibid, hal.93-94

[17] Ibid, hal. 94

[18] Lih. Ibid hal. 2

[19] Gregory Mahler, Op.Cit, hal.227

[20] Ibid, hal.218

[21] Rod Hogue et al, Op.Cit, hal.213

[22] Gregory Mahler, Op.Cit, hal.218

[23] Rod Hogue et al, Op.Cit, hal.213

[24] Gregory Mahler, Op.Cit, hal.214

[25] Rod Hogeu et la, Op.Cit, hal. 212

[26] Gregory Mahler, Op.Cit, hal.217

[27] Lih. B. Guy Peters, “Political Institutions Old and New”, A New Handbook of Political Science, eds. Robert E. Goodin et al (New York: 1996), hal.210. Guy Peters menguraikan tulisan Kenneth Shepsle dan Barry Wingast yang mengatakan bahwa institusi merupakan “sarana yang mengagregasi preferensi individu-individu yang masing-masing individu berusaha mengejar kepentingan mereka”

[28] Gregory Mahler, Op.Cit, hal.225

[29] http/en.wikipedia.org/wiki/Johan_Rudolf_Thorbecke

[30] Kate Monaghan, “Dutch Political Party Wants to Normalize Pedophilia”, http/www.cnsnews.com

[31] B. Guy Peters, “Political Institutions Old and New”, A New Handbook of Political Science, eds. Robert E. Goodin et al (New York: 1996), hal.210.

[32] Ibid, hal. 210-211

[33] Gregory Mahler, Op.Cit, hal.223. Dalam Republik Keempat, telah terjadi pergantian kabinet sebanyak 18 kali dalam kurun waktu antara 1947-1958

[34] Ibid, hal.208-209

[35] Ibid, hal. 210

[36] Lih. Theda Skocpol, Negara dan Revolusi Sosial Suatu Analisis Komparatif tentang Perancis, Rusia, dan Cina, Terj. Kelompok Mitos (Jakarta: 1991), hal.55-69; 127-137

[37] Bdk Ibid, hal. 132. Scokpol mengatakan “Respons rakyat terhadap kenaikan harga roti di tahun 1789 ini mengikuti bentuk-bentuk respons yang pernah terjadi. Di abad ke delapan belas jika terjadi kenaikan harga roti secara tiba-tiba, maka orang-orang miskin di perkotaan dan di pedesaan akan membuat respons dengan melakukan kerusuhan-kerusuhan.”

[38] Lih. Ibid, hal.64-65

[39] Gregory Mahler, Op.Cit, hal.225.

[40] Ibid

[41] Martin Fritz, “Pemilu Parlemen Belanda Tanpa Mayoritas”, http/www.mail-archieve.com/ppiindia@yahoogroups.com/msg49840.html. Martin Fritz dari Dresden mengatakan dalam opininya bahwa PM Jan Peter Balkenende kesulitan membentuk koalisi, terutama dengan Partai Buruh pimpinan Wouter Bos. Sebab hubungan antara Balkenende, yang berhaluan Calvinist, dan Wouter Bos yang pimpinan partai Buruh, bagaikan kucing dan tikus. Hanya penengahan pihak kerajaan yang akan dapat menggerakkan keduanya.

[42] Bdk. Nazaruddin Sjamsuddin, Integrasi Politik di Indonesia (Jakarta : 1989), hal.4

Oleh YB. Heru Wahyu Jatmiko

ABSTRAK

Penelitian atas pemikiran Machiavelli ini memakai pendekatan kualitatif dalam bentuk penafsiran atas pemikirannya sebagaimana tertuang dalam buku The Prince, The Discourse dan The Art of War. Permasalahan penelitian mencakup pelaksanaan dan persiapan ekspansi militer, arti penting ekspansi militer bagi kekuasaan politik dan bentuk kekuasaan politik bagi kebesaran Florence. Penelitian ini bertujuan untuk memahami pemikiran politik Machiavelli mengenai kekuasaan politik dan ekspansi militer sebab selama ini pemikiran Machiavelli hanya dipahami berisi satu tema kekuasaan politik saja.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa persiapan ekspansi militer dilakukan dengan menanamkan virtù pada seluruh warga negaranya. Virtù dipahami sebagai komitmen lahir batin terhadap kebesaran negara. Kebesaran negara adalah kebesaran nama, kekuasaan dan kekayaan. Penanaman virtù itu dilakukan melalui dua tahap yaitu ketika masyarakat korup, virtù ditanamkan dengan kekerasan dan persuasi sehingga tertanam virtù rakyat. Setelah virtù rakyat tertanam, virtù itu ditingkatkan menjadi virtù sejati melalui pasukan sendiri atau tentara rakyat (militia). Melalui prosedur perekrutan yang menyeluruh, semua warga negara tanpa kecuali akan terkena program militer rakyat ini. Bila virtù sejati itu telah tertanam, maka negara akan mencapai kejayaan selamanya melalui ekspansi militer dan pemeliharaan wilayah jajahan.
Bagi Machiavelli, ekspansi tidak selalu harus ekspansi militer. Ekspansi non militer dilakukan dengan mencontoh republik Romawi yaitu aliansi yang dikepalai oleh Republik Romawi terhadap negara-negara tetangganya. Aliansi ini dilakukan dengan tipuan. Tindakan militer atau ekspansi militer merupakan jalan terakhir ketika negara taklukan memberontak atau negara lain menyerang negara protektoratnya.
Kekuasaan politik merupakan seni mempengaruhi manusia-manusia agar tercapai kebesaran negara. Kekuasaan bertugas untuk menanamkan virtù kepada warga negaranya agar tercapai kebesaran negara. Kebesaran negara bisa diperoleh melalui ekspansi militer. Ekspansi militer memberikan bentuk kelihatan atas tujuan kekuasaan politik sekaligus memberikan tolok ukur keberhasilan kekuasaan politik. Tanpa ekspansi militer, negara akan hancur.
Agar Florence menjadi besar, Machiavelli menasehatkan agar Paus Leo X segera mengambil alih kekuasaan di Florence. Karena masyarakatnya sudah terlanjur korup, Leo X diminta berkuasa sebagai seorang Raja atau Diktator dengan menggunakan kekerasan dan tipuan. Setelah itu, Leo X membentuk republik, membentuk pasukan sendiri dan melakukan ekspansi dengan tipuan. Machiavelli mengatakan Leo akan berhasil karena ia punya virtù dan fortune.
Implikasi teoritis dari penelitian ini adalah bahwa teori St. Sularto, Skinner dan Hörnqvist perlu menambahkan teori pemusatan kekuasaan Eropa abad pertengahan dari Martin van Creveld dan Bruce D. Porter, tradisi pemikiran filosofis masa itu, dan penggabungan tema buku The Prince, The Discourse dan The Art of War agar bisa dijelaskan secara tepat kata virtù dan fortune yang menjadi kata-kata kunci dalam pemikiran Machiavelli.

ABSTRACT


The research of Machiavelli’s thought uses qualitative method in a form of interpreting his thought written in The Prince, The Discourse and The Art of War. The problems of the research consist of preparation and execution of military expansion, the importance of military expansion for political power and form of political power for the greatness of Florence. The research aims to comprehend military expansion and political power according to Machiavelli’s political thought, which is always assumed to have only one theme, i.e. political power theme.
The result of the research shows that military expansion was prepared by implanting virtù on all of citizens. Virtù was thought as commitment to the state greatness inwardly and outwardly. The greatness of the state consisted of the greatness of good name, the greatness of power and the greatness of wealth. Virtù was implanted through two ways, i.e., when the people were still corrupt, virtù was instilled through violent and persuasion means, through which the people would have people virtù. Having implanted, virtù was advanced to become true virtù through own states army or people army (militia). By total recruitment procedure, which recruited all of the people, all of the citizens, without exception, would incur the militia (people army) programme. When the true virtù had already implanted, the state would gain the greatness ceaselessly through military expansion and maintaining her dominions.
According to Machiavelli, expansion wasn’t only military expansion. Non-military expansion was conducted by exemplifying of Rome republic, i.e., alliance headed by Rome republic to neighbour states. This alliance was made by deception. Military action or military expansion was presented as a last resort when dominion rebelled or her protectorate was attacked by other country.
Political power was thought as art of influencing people which aimed to the greatness. The power implanted virtù on her citizens for the sake of the greatness. The greatness would be obtained through military expansion. Thus, military expansion gave both real form of power end and power efficacy measure. Without military expansion, the state would be ruined.
For the sake of the Florence greatness, Machiavelli advised that Pope Leo X as soon as possible took over the power of Florence. Because of the corrupt people, he demanded Leo X to seize the power as a prince or a Dictator by which violent and deceitful means would be carried out. After that, Leo X created a republic, initiated own state army and conducted expansion by deceitful way. Machiavelli said that Leo X would succeed to do this because he had virtù and fortune.
Theoritical implication from this research is that St. Sularto, Quentin Skinner and Mikael Hörnqvist need to enhance their theories with the Martin van Creveld and Bruce D. Porter theories of political power centralization in Europe at middle ages, the philosophy traditions in the Machiavelli’s period, combining The Prince, The Discourse and The Art of War themes that the words virtù and fortune which are keywords in Machiavelli’s thought are able to be explained correctly.